Kamis, 26 Oktober 2017

BAGAIMANA PERAN AKTIF GURU MEMBENTENGI UJARAN FITNAH DIGITAL



BAGAIMANA PERAN  AKTIF GURU  MEMBENTENGI
UJARAN FITNAH DIGITAL

Setyo Nugroho , S.Pd, M.Pd
SMA Negeri 1 Demak

Memasuki awal abad ke-21, bangsa Indonesia dihadapkan pada persaingan antarbangsa. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, globalisasi, dan demokratisasi telah membawa perubahan di hampir aspek kehidupan bangsa Indonesia. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Human Development Report (2000) dinyatakan bahwa Indonesia berada di ranking 109 dari 270 negara, jauh di bawah negara-negara tetangga di Asia Tenggara (Suryadi, 2002 : 1). Laporan ini menunjukkan bahwa kualitas sumber daya manusia Indonesia masih rendah. Kondisi ini tidak menguntungkan bagi bangsa Indonesia di tengah persaingan global yang menuntut produktivitas, efisiensi, competitive edge, dan berbagai macam peningkatan kinerja dan kualitas. Konsepsi di atas menempatkan pendidikan sebagai posisi yang strategis. Mengingat inti pendidikan dalam skala mikro adalah sekolah, maka sekolah harus mampu menunjukkan kinerja yang meyakinkan dalam dimensi mutu. Kualitas sekolah harus ditingkatkan menuju sebuah sistem pendidikan yang efektif dan efisien  dalam rangka menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni menuju pembentukan generasi emas 2045
Seiring dengan tingkat perkembangan informasi yang seperti tiada sekat tidak dapat dipungkiri bahwa informasi bisa jadi menjadi barometer kemajuan peradaban. Peradaban diidentifikasi bagaimana kiprah media informasi digital menjadi eqibilirium tersendiri. Perkembangan teknologi Informasi masa kini memungkinkan semua orang memiliki cara menjadi seorang penyampai berita. Sayangnya, ada berita-berita yang disampaikan masyarakat melalui media sosial seolah-seolah fakta padahal tidak sesuai dengan kenyataan. Apalagi sekarang merambah ke dunia pendidikan. Dikalangan pelajara medsos bisa jadi merupakan sarana aktualisasi yang dapat kebabalasan. Sekali ada informasi dapat menjadi viral untuk menyampaikan pendapat sebebas-bebasnya. Kadar kesantunan orang timur sebagian sudah luntur karena medsos bisa menjadi ’kebringasan’´berbicara dan ini sangat antitesa dfengan semangat membangung pendidikan karakter pelajar.
            Berita bohong dan fitnah yang menyebar melalui media sosial akhir-akhir ini makin sering bermunculan. Isinya tidak saja menyesatkan dan meresahkan, tapi rawan memicu konflik serta menimbulkan kegaduhan dalam masyarakat. Perlu diambil langkah-langkah antispasi untuk mencegah dampak yang lebih luas.Hoax dalam bahasa Inggris dapat berarti tipuan, menipu, berita bohong, berita palsu atau kabar burung . Jadi dapat ditarik simpulan bahwa hoax adalah kata-kata yang berisi ketidak benaran suatu informasi. Selain berupa tulisan, kita seringkali menjumpai berita hoax ditemukan dalam bentuk tayangan gambar, video maupun animasi yang dibuat dengan teknologi digital dan penuh rekayasa.
Media sosial yang dekat dengan generasi muda dan anak-anak tak bisa dipisahkan sebagai sumber informasi. Sehingga tantangan utama bagi orang tua adalah mengajarkan anak-anak dan remaja untuk selalu kritis dengan informasi yang mereka terima. Hal ini penting untuk melatih anak mencerna informasi yang sehat. Besarnya dampak yang ditimbulkan hoax dalam sejarah perlu menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia. Apalagi berita hoax telah mengoyak generasi muda tanah air. Mengingat, mayoritas pengguna media sosial adalah mereka yang masih berusia mudah. Tak sedikit pula yang masih berstatus sebagai pelajar; anak usia SD dan SMP saja sekarang banyak yang sudah aktif di media sosial. Mereka memiliki akun di facebook, BBM, Instagram dan lainnya. Terlebih mereka yang duduk di bangku SMA atau mahasiswa. Mereka telah banyak berselancar di dunia maya.
Mencegah mereka menggunakan media sosial tentu pekerjaan berat, apalagi sekarang ini sudah menjadi trend di kalangan mereka. Yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan kegiatan penyadaran pada mereka. Dan wahana paling efektif untuk kegiatan penyadaran pada mereka adalah melalui pendidikan. Jadi, dunia pendidikan sangat vital dan menjadi leading sektor untuk bisa menangkal virus hoax yang kini terus mewabah. Para pendidk dituntut cermat dalam membaca keadaan. Kehadiran mereka sangat dibutuhkan. Karenanya, dunia pendidikan perlu melakukan langkah-langkah kongkrit.
Di antara langkah yang bisa diambil dunia pendidikan adalah menanamkan kejujuran pada siswa. Slogan character building (pembentukan karakter) yang dulu pernah digembar-gemborkan di dunia pendidikan perlu dibangkitkan dan dikuatkan kembali. Rusaknya karakter siswa, yang notabene-nya merupakan generasi penerus bangsa tentu akan sangat membahayakan bagi kelangsungan kehidupan bangsa kedepan. Mengingat, mereka inilah yang akan menjadi tumpuhan masa depan bangsa. Baik buruknya masa depan bangsa akan sangat ditentukan kualitas mereka. Untuk itu, semua stakeholder perlu sadar dan mengarahkan sekaligus menguatkan pencapaian tujuan mulia dunia pendidikan. Dengan karakter jujur, siswa akan  terbiasa bersikap jujur termasuk tidak membuat dan mempercayai berita hoax di media sosial.
Proses pembentukan karekter tersebut sangat efektif dilakukan di lembaga pendidikan. Dan ini sekaligus sebagai pembelajaran bagi lembaga pendidikan yang ada karena untuk membentuk karakter siswa seperti itu, tidak cukup hanya mengedepankan aspek pengetahuan (knowledge) semata seperti selama ini yang terjadi di sebagian sekolah, tetapi juga aspek iman dan taqwa. Atau meminjam Ki Hajar Demantoro dengan istilah cipta, rasa, dan karsa. Misi tersebut sejalan dengan amanah pendidikan nasional yang mengarahkan siswa untuk mahir dalam aspek afektif, kognitif, dan psikomotorik secara integratif, tidak parsial.
Amanah pendidikan tersebut sudah tertuang dalam Undang-undang (UU) nomor 20 tahun 2013, yang menjadi acuan Kurikulum 2013. Di UU itu diamanahkan bahwa proses pengajaran dilakukan dengan mengembangkan aspek sikap, pengetahuan, dan aspek ketrampilan. Konsep yang digunakan adalah keseimbangan antara hardskill dan softskill. Menyeimbangkan antara aspek spiritual, sosial, pengetahuan, dan ketrampilan. Sehingga proses pendidikan tidak bisa hanya transfer of knowledge, tetapi juga transfer of value. Guru tak hanya sekedar menyampaikan materi, tetapi juga memberi bimbingan dan keteladanan.
Bila melihat konten Kurikulum 2013, proses pembelajaran sudah diarahkan pada pembentukan tiga aspek tersebut; afektif, kognitif, dan psikomotorik. Pembentukan ketiga aspek dilakukan pada semua mata pelajaran (mapel), tanpa terkecuali, baik pelajaran umum maupun pelajaran agama. Itu terlihat dari semua materi mapel yang dikembangkan dari rumusan kompotensi inti (KI) yang sudah dibuat pemerintah. 
Kondisi ini tentu akan sangat memungkinkan bagi lembaga pendidikan untuk membangun karakter (character building) anak didik. Dan tanpa disadari rumusan KI-KD akan memungkinkan melahirkan generasi unggul yang memiliki sifat shiddiq, amanah, tabligh, dan fathonah. Mengingat, mereka tidak hanya dibekali khazanah intelektualitas, tetapi sekaligus khazanah spiritualitas.
Lembaga pendidikan dengan perangkat kurikulum yang ada bisa mengambil peran itu. Sehingga keberadaan lembaga pendidikan benar-benar melahirkan generasi shiddiq, amanah, tabligh, dan fathonah. Siddiq artinya benar. Yakni mengajarkan agar siswa selalu berkata benar, sesuai kenyataan. Bicaralah dengan fakta, karena memiliki beban sebagai pribadi yang amanah.
Fathonah berarti cerdas dalam segala hal. Cerdas dalam membaca dan mencerna berita, memilah dan memilih bacaan. Cerdas dalam bersikap. Juga, cerdas dalam berkata dan menulis sesuatu di mana pun, termasuk menulis di media sosial. Berbekal ilmu, mereka menjadi cerdas menyikapi berita hoax. Sedang Tabligh berarti menyampaikan. Kemampuan berkomunikasi dengan baik. Informasi jika disampaikan dengan cara tidak tepat akan dipahami secara salah oleh yang lain.  Kemampuan komunikasi selayaknya dilatih mulai dari sekolah.
Generasi milenial pelajar bisa menjadi obyek yang paling rentan terhadap bahaya hoax. Apalagi Indonesia dengan potensi dan advantage demografi penduduk tahun 2030 mendatang didominasi usia pelajar dan usia produktif justru sangat berpotensi diisi oleh orang-orang yang tidak cerdas dalam menggunakan media sosial.
Menyikapi banyaknya konten palsu di media sosial dikalangan pelajar perlu dibutuhkan kearifan dan kebijakan untuk lebih kritis terhadap media sosial yang mengeluarkan berita palsu sekaligus tidak mudah terprovokasi terhadap isu-isu yang menyebabkan ujaran kebencian atau fitnah digital. Hoax selain menghabiskan energi untuk memperbincangkannya sekaligus menjadi disintegrasi informasi  dan menganggu keamanan nasional dilihat dari sudut dan kepentingan bangsa.
Sebaiknya penanganan berita hoax di lingkungan pelajar  tidak dengan cara instan dan represif digital. Memblokir konten di hilir juga bukan solusi jangka panjang melainkan konsolidasi dan pemebentengan ditingkat Hilir.  Untuk itu perlu kesadaran yang tinggi untuk selalu ada waspada dan cross check sebelum menyebarluaskan. Perangkat hukum tentang UU ITE yang memberikan aturan ketat tentang SOP penyampaian pendapat seharusnya mampu disikapi secara arif dan bijaksana. Bagaimana membentengi tingginya arus informasi khususnya informasi hoax yang bisa berpotensi menjadi pemicu dan pemacu munculnya disintegrasi bangsa, politik adu domba, keamanan nasional maka perlu pendekatan yang menyesuaikan dengan kondisi dan sosio daerah.
Contoh daerah Demak dengan kota religi maka pendekatan sosiologis dengan pendekatan religi. Potensi daerah dengan Ulama dan Umara diharapkan bisa menjadi solusi terbaik untuk mencegah munculnya isu-isu menyesatkan sehingga kota Demak tetap terjaga dengan kesejukan dan kesantunan. Munculnya isu-isu Radikalisme Islam, ISIS bisa jadi dimulai dari penyebaran konten-konten fitnah digital berbahaya di Medsos. Sekolah harus bisa menjadi benteng bagi penyebaran konten konten hoax dan berpontensi merusak generasi mueda dan pelajar dengan isu-isu provokasinya. Gerakan sosial pendidikan dapat mencegah informasi provokasi hoax

, seperti gerakan Maghrib Matikan TV Ayo Mengaji di Kabupaten Demak.  Program Guru Ramah Anak, dapat menjadi  percontohan Sekolah ramah anak, Desa ramah anak, RW Ramah Anak,  RT Ramah Anak dan Keluarga ramah anak  perlu secara konsisten, kontinyu dan faktual dilakukan untuk memberikan nilai-nilai edukasi dan pembelajaran yang mampu memberikan suasana sejuk dan menyenangkan sehingga dapat terhindar dari informasi yang menyesatkan. Program Guru Ramah Anak dapat diterapkan ditingkatkan paling kecil sampai di tingkat nasional . Program ini bisa diambil secara berjenjang untuk guru TK, SD, SMP, SMA dan Kalangan Mahasiswa. Setiap desa ada Kader-kader Guru Sukarelawan dengan top manajerial yang sama untuk memberikan penyuluhan, pembelajaran, terkait dengan informasi hoax dengan tetap memberikan dasar-dasar pendidikan dan kepelatihan sesuai dengan usia anak.
Beberapa hal yang dapat diterapkan untuk mencegah penyebaran konten palsu berbahaya dikalangan siswa atau pelajar atau remaja   diantaranya :
1.       Tata cara / code of conduct berkomunikasi dengan cerdas di media sosial, bagaimana berkomunikasi secara postif dan proporsional perlu digalakkan untuk mencegah kemungkinan informasi yang salah yang tersebar. Siswa diminta aktif dan bijaksana menggunakan media sosial dengan memberikan informasi edukasi yang proporsional. Penggunaan konten E-learning dapat digunakan sebagai media komunikasi aktif edukasi untuk dapat menjembatani kegiatan pembelajaran digital sekaligus media aspirasi joyful learning yang menyenangkan siswa untuk aktif membaca, berdiskusi untuk pembelajaran. Tata cara/code of conduct dipandu oleh guru instruktur dimasing-masing bidang  percontohan dengan memberikan informasi terkait konten-konten yang berpotensi mertusak generasi pelajar.
2.      Gerakan literasi media ke masyarakat roadshow ke institusi pendidikan, seperti kampus, sekolah pesantren, ormas, ulama dan pemuka agama, budayawan serta berbagai tokoh masyarakat. Konten berbahaya juga tergantung bagaimana informasi itu tersampaikan, perlu media alternatif untuk memberikan informasi secara adil dan transparan. Literasi bisa menjadi solusi yang jitu untuk mencegah konten berbahaya.  Guru percontohan memberikan pelatihan-pelatihan dan informasi yang aktual tentang situs-situs yang berbahaya dan hati-hatiuntuk tidak mudah percaya terhadap isi kontennya. Memberikan informasi secara benar dan sejuk dapat menjadi salah satu benteng dari muncul-munculnya ide-ide radikal akibat salah mengartikan informasi dan konten berbahaya.
3.      Tabayun Literasi, upaya mengklarifikasi informasi, perlu digalakkan budaya tabayun literasi informasi dalam rangka memberikan kejelasan dan kesempatan untuk membertikan informasi yang benar dan akurat. Siswa bertanya kepada guru terkait informasi yang masih meragukan atau guru jemput bola menyampaikan berberapa fakta yang dapat menjelaskan tentang ketidakakuratan data yang tersaji dari sebuah konten.
4.      Conten Literasi, upaya mengisi informasi yang baik dengan didasari pemikirian-pemikiran yang aktual lebih bersifat opini literasi. Di sekolah hal ini sudah ada tinggal para pengisi konten mampu menyususun program pembelajaran dengan konten yang menyenangkan. Kanalisasi situs-situs yang bermanfaat untuk siswa perlu tyerus diterapkan dengan website sekolah, email guru, chatt guru dan siswa, Whatsup, Line, Instragram, dll. Semua itu dikur dan diguinakan sebagai bentuk media seimbang ditengah arus informasi yang deras yang membutuhkan kearifan untuk dapat mencegahnya.
5.      Konsolidasi Organisasi Sosial Pendidikan, perlu ada upaya bersama untuk mencegah penyebaran konten Hoax dengan mengajak Top Organisasi masyarakat melalui biro organisasi agar informasi tersampaikan secara benar.  PGRI sebagai organisasi sosial  pendidikan bisa bergerak secara aktif melalui konten dan kegiatan di bidang pendidikan. Dengan kemitraan dengan  pihak yang berkompeten memberikan pelatihan pelatihan kepada guru dan pelajar untuk dapat menjadi kader Anti  hoax dengan terus memberikan pusat informasi sesuai bidangnya masing-masing sehingga diharapkan di sekolah sudah ada kran-kran penyumbat informasi hoax. Satgas-satgas anti hoax dapat menjadi ide brilian untuk menjawab resistensi informasi hoax.
6.       Gelar Aksi Literasi Sekolah , program penggiatan literasi ini dapat menjadi bagian tidak terpisahkan dalam rangka memebentuk karakter siswa. Membiasakan menulis sesuatu  dengan benar bukan tulisan bohomng dan tidak benar. Kegiatan sekolah literasi menjadi ruh proses awal pembelajaran yang benar-benar dapat meningkatkan peran aktif siswa. Banyak program-program kabupaten literasi yang perlu ditingkatkan lagi baik program maupun implementasinya, program program menarik minat membaca dan menulis yang benar dikalangan siswa dapat menjadi pencegah dari bertita-berita atau tulisan-tulisan yang tgidak dapat dipertanggungjawabkan sumbernya.
c.       Simpulan
Pemberitan informasi hoax dapat menjadi ladang munculnya informasi menyesatkan dan menjadi disintegrasi bangsa. Peran aktif guru dalam membentengi informasi HOAX dengan selalu aktif melakukan  counter education dengan berperan aktif menyampaikan informasi dengan benar, memberikan tanggapan dan klarifikasi informasi sebaik-baiknya dengan mengedepankan  reinforcement literasi yang memadai dan bertanggungjawab demi tercapainya tujuan mulia pendidikan dan mencegah informasi yang menyesatkan.




DAFTAR PUSTAKA

Suryadi, (2002). Kerangka konseptual mutu pendidikan dan pembinaan kemampuan profesional guru. Jakarta: Cardimas Metropole


Tidak ada komentar: