BAGAIMANA PERAN AKTIF GURU MEMBENTENGI
UJARAN FITNAH
DIGITAL
Setyo Nugroho ,
S.Pd, M.Pd
SMA Negeri 1
Demak
Memasuki
awal abad ke-21, bangsa Indonesia dihadapkan pada persaingan antarbangsa.
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, globalisasi, dan demokratisasi telah
membawa perubahan di hampir aspek kehidupan bangsa Indonesia. Berdasarkan data
yang dikeluarkan oleh Human Development Report (2000) dinyatakan bahwa Indonesia berada di
ranking 109 dari 270 negara,
jauh di bawah negara-negara tetangga di Asia Tenggara (Suryadi, 2002 : 1). Laporan ini menunjukkan bahwa
kualitas sumber daya manusia Indonesia masih rendah. Kondisi ini tidak
menguntungkan bagi bangsa Indonesia di tengah persaingan global yang menuntut
produktivitas, efisiensi, competitive edge, dan berbagai macam
peningkatan kinerja dan kualitas. Konsepsi di atas menempatkan pendidikan
sebagai posisi yang strategis. Mengingat inti pendidikan dalam skala mikro
adalah sekolah, maka sekolah harus mampu menunjukkan kinerja yang meyakinkan
dalam dimensi mutu. Kualitas sekolah
harus ditingkatkan menuju sebuah sistem pendidikan yang efektif dan
efisien dalam rangka menghadapi
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni menuju pembentukan generasi emas 2045
Seiring
dengan tingkat perkembangan informasi yang seperti tiada sekat tidak dapat
dipungkiri bahwa informasi bisa jadi menjadi barometer kemajuan peradaban. Peradaban
diidentifikasi bagaimana kiprah media informasi digital menjadi eqibilirium
tersendiri. Perkembangan teknologi Informasi masa kini
memungkinkan semua orang memiliki cara menjadi seorang penyampai berita.
Sayangnya, ada berita-berita yang disampaikan masyarakat melalui media sosial
seolah-seolah fakta padahal tidak sesuai dengan kenyataan. Apalagi sekarang
merambah ke dunia pendidikan. Dikalangan pelajara medsos bisa jadi merupakan
sarana aktualisasi yang dapat kebabalasan. Sekali ada informasi dapat menjadi
viral untuk menyampaikan pendapat sebebas-bebasnya. Kadar kesantunan orang
timur sebagian sudah luntur karena medsos bisa menjadi ’kebringasan’´berbicara
dan ini sangat antitesa dfengan semangat membangung pendidikan karakter
pelajar.
Berita
bohong dan fitnah yang menyebar melalui media sosial akhir-akhir ini makin
sering bermunculan. Isinya tidak saja menyesatkan dan meresahkan, tapi rawan
memicu konflik serta menimbulkan kegaduhan dalam masyarakat. Perlu diambil
langkah-langkah antispasi untuk mencegah dampak yang lebih luas.Hoax dalam
bahasa Inggris dapat berarti tipuan, menipu, berita bohong, berita palsu atau
kabar burung . Jadi dapat ditarik simpulan bahwa hoax adalah kata-kata yang
berisi ketidak benaran suatu informasi. Selain berupa tulisan, kita seringkali
menjumpai berita hoax ditemukan dalam bentuk tayangan gambar, video maupun
animasi yang dibuat dengan teknologi digital dan penuh rekayasa.
Media
sosial yang dekat dengan generasi muda dan anak-anak tak bisa dipisahkan
sebagai sumber informasi. Sehingga tantangan utama bagi orang tua adalah
mengajarkan anak-anak dan remaja untuk selalu kritis dengan informasi yang
mereka terima. Hal ini penting untuk melatih anak mencerna informasi yang
sehat. Besarnya dampak yang ditimbulkan hoax dalam sejarah perlu
menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia. Apalagi berita hoax telah
mengoyak generasi muda tanah air. Mengingat, mayoritas pengguna media sosial
adalah mereka yang masih berusia mudah. Tak sedikit pula yang masih berstatus
sebagai pelajar; anak usia SD dan SMP saja sekarang banyak yang sudah aktif di
media sosial. Mereka memiliki akun di facebook, BBM, Instagram dan lainnya.
Terlebih mereka yang duduk di bangku SMA atau mahasiswa. Mereka telah banyak
berselancar di dunia maya.
Mencegah mereka menggunakan
media sosial tentu pekerjaan berat, apalagi sekarang ini sudah menjadi trend di
kalangan mereka. Yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan kegiatan
penyadaran pada mereka. Dan wahana paling efektif untuk kegiatan penyadaran
pada mereka adalah melalui pendidikan. Jadi, dunia pendidikan sangat vital dan
menjadi leading sektor untuk bisa menangkal virus hoax yang kini terus mewabah.
Para pendidk dituntut cermat dalam membaca keadaan. Kehadiran mereka sangat
dibutuhkan. Karenanya, dunia pendidikan perlu melakukan langkah-langkah
kongkrit.
Di antara langkah yang bisa
diambil dunia pendidikan adalah menanamkan kejujuran pada siswa. Slogan character building (pembentukan
karakter) yang dulu pernah digembar-gemborkan di dunia pendidikan perlu
dibangkitkan dan dikuatkan kembali. Rusaknya karakter siswa, yang notabene-nya
merupakan generasi penerus bangsa tentu akan sangat membahayakan bagi
kelangsungan kehidupan bangsa kedepan. Mengingat, mereka inilah yang akan
menjadi tumpuhan masa depan bangsa. Baik buruknya masa depan bangsa akan sangat
ditentukan kualitas mereka. Untuk itu, semua stakeholder perlu sadar dan
mengarahkan sekaligus menguatkan pencapaian tujuan mulia dunia pendidikan.
Dengan karakter jujur, siswa akan terbiasa bersikap jujur termasuk tidak
membuat dan mempercayai berita hoax di media sosial.
Proses
pembentukan karekter tersebut sangat efektif dilakukan di lembaga pendidikan.
Dan ini sekaligus sebagai pembelajaran bagi lembaga pendidikan yang ada karena
untuk membentuk karakter siswa seperti itu, tidak cukup hanya mengedepankan
aspek pengetahuan (knowledge) semata seperti selama ini yang terjadi
di sebagian sekolah, tetapi juga aspek iman dan taqwa. Atau meminjam Ki Hajar
Demantoro dengan istilah cipta, rasa, dan karsa. Misi tersebut sejalan dengan
amanah pendidikan nasional yang mengarahkan siswa untuk mahir dalam aspek
afektif, kognitif, dan psikomotorik secara integratif, tidak parsial.
Amanah pendidikan tersebut sudah
tertuang dalam Undang-undang (UU) nomor 20 tahun 2013, yang menjadi acuan
Kurikulum 2013. Di UU itu diamanahkan bahwa proses pengajaran dilakukan dengan
mengembangkan aspek sikap, pengetahuan, dan aspek ketrampilan. Konsep yang
digunakan adalah keseimbangan antara hardskill dan softskill.
Menyeimbangkan antara aspek spiritual, sosial, pengetahuan, dan ketrampilan.
Sehingga proses pendidikan tidak bisa hanya transfer of knowledge, tetapi juga
transfer of value. Guru tak hanya sekedar menyampaikan materi, tetapi juga
memberi bimbingan dan keteladanan.
Bila melihat konten Kurikulum
2013, proses pembelajaran sudah diarahkan pada pembentukan tiga aspek tersebut;
afektif, kognitif, dan psikomotorik. Pembentukan ketiga aspek dilakukan pada
semua mata pelajaran (mapel), tanpa terkecuali, baik pelajaran umum maupun
pelajaran agama. Itu terlihat dari semua materi mapel yang dikembangkan dari rumusan
kompotensi inti (KI) yang sudah dibuat pemerintah.
Kondisi ini
tentu akan sangat memungkinkan bagi lembaga pendidikan untuk membangun karakter
(character building) anak didik. Dan tanpa disadari rumusan KI-KD akan
memungkinkan melahirkan generasi unggul yang memiliki sifat shiddiq, amanah,
tabligh, dan fathonah. Mengingat, mereka tidak hanya dibekali khazanah
intelektualitas, tetapi sekaligus khazanah spiritualitas.
Lembaga
pendidikan dengan perangkat kurikulum yang ada bisa mengambil peran itu. Sehingga
keberadaan lembaga pendidikan benar-benar melahirkan generasi shiddiq, amanah,
tabligh, dan fathonah. Siddiq artinya benar. Yakni mengajarkan agar siswa
selalu berkata benar, sesuai kenyataan. Bicaralah dengan fakta, karena memiliki
beban sebagai pribadi yang amanah.
Fathonah
berarti cerdas dalam segala hal. Cerdas dalam membaca dan mencerna berita,
memilah dan memilih bacaan. Cerdas dalam bersikap. Juga, cerdas dalam berkata
dan menulis sesuatu di mana pun, termasuk menulis di media sosial. Berbekal
ilmu, mereka menjadi cerdas menyikapi berita hoax. Sedang Tabligh berarti
menyampaikan. Kemampuan berkomunikasi dengan baik. Informasi jika disampaikan
dengan cara tidak tepat akan dipahami secara salah oleh yang lain.
Kemampuan komunikasi selayaknya dilatih mulai dari sekolah.
Generasi
milenial pelajar bisa menjadi obyek yang paling rentan terhadap bahaya hoax.
Apalagi Indonesia dengan potensi dan advantage demografi penduduk tahun 2030
mendatang didominasi usia pelajar dan usia produktif justru sangat berpotensi
diisi oleh orang-orang yang tidak cerdas dalam menggunakan media sosial.
Menyikapi
banyaknya konten palsu di media sosial dikalangan pelajar perlu dibutuhkan
kearifan dan kebijakan untuk lebih kritis terhadap media sosial yang
mengeluarkan berita palsu sekaligus tidak mudah terprovokasi terhadap isu-isu
yang menyebabkan ujaran kebencian atau fitnah digital. Hoax selain menghabiskan
energi untuk memperbincangkannya sekaligus menjadi disintegrasi informasi dan menganggu keamanan nasional dilihat dari
sudut dan kepentingan bangsa.
Sebaiknya
penanganan berita hoax di lingkungan
pelajar tidak dengan cara instan dan
represif digital. Memblokir konten di hilir juga bukan solusi jangka panjang
melainkan konsolidasi dan pemebentengan ditingkat Hilir. Untuk itu perlu kesadaran yang tinggi untuk
selalu ada waspada dan cross check sebelum menyebarluaskan. Perangkat hukum
tentang UU ITE yang memberikan aturan ketat tentang SOP penyampaian pendapat
seharusnya mampu disikapi secara arif dan bijaksana. Bagaimana membentengi
tingginya arus informasi khususnya informasi hoax yang bisa berpotensi menjadi pemicu dan pemacu munculnya
disintegrasi bangsa, politik adu domba, keamanan nasional maka perlu pendekatan
yang menyesuaikan dengan kondisi dan sosio daerah.
Contoh
daerah Demak dengan kota religi maka pendekatan sosiologis dengan pendekatan
religi. Potensi daerah dengan Ulama dan Umara diharapkan bisa menjadi solusi
terbaik untuk mencegah munculnya isu-isu menyesatkan sehingga kota Demak tetap
terjaga dengan kesejukan dan kesantunan. Munculnya isu-isu Radikalisme Islam,
ISIS bisa jadi dimulai dari penyebaran konten-konten fitnah digital berbahaya
di Medsos. Sekolah harus bisa menjadi benteng bagi penyebaran konten konten
hoax dan berpontensi merusak generasi mueda dan pelajar dengan isu-isu provokasinya.
Gerakan sosial pendidikan dapat mencegah informasi provokasi hoax
,
seperti gerakan Maghrib Matikan TV Ayo
Mengaji di Kabupaten Demak. Program Guru Ramah Anak, dapat
menjadi percontohan Sekolah ramah anak, Desa
ramah anak, RW Ramah Anak, RT Ramah Anak dan Keluarga ramah anak perlu secara konsisten, kontinyu dan faktual
dilakukan untuk memberikan nilai-nilai edukasi dan pembelajaran yang mampu
memberikan suasana sejuk dan menyenangkan sehingga dapat terhindar dari informasi
yang menyesatkan. Program Guru Ramah Anak dapat diterapkan ditingkatkan paling
kecil sampai di tingkat nasional . Program ini bisa diambil secara berjenjang
untuk guru TK, SD, SMP, SMA dan Kalangan Mahasiswa. Setiap desa ada Kader-kader
Guru Sukarelawan dengan top manajerial yang sama untuk memberikan penyuluhan,
pembelajaran, terkait dengan informasi hoax
dengan tetap memberikan dasar-dasar pendidikan dan kepelatihan sesuai dengan
usia anak.
Beberapa
hal yang dapat diterapkan untuk mencegah penyebaran konten palsu berbahaya
dikalangan siswa atau pelajar atau remaja diantaranya :
1. Tata
cara / code of conduct berkomunikasi dengan cerdas di media
sosial, bagaimana berkomunikasi secara postif dan proporsional perlu digalakkan
untuk mencegah kemungkinan informasi yang salah yang tersebar. Siswa diminta
aktif dan bijaksana menggunakan media sosial dengan memberikan informasi
edukasi yang proporsional. Penggunaan konten E-learning dapat digunakan sebagai
media komunikasi aktif edukasi untuk dapat menjembatani kegiatan pembelajaran
digital sekaligus media aspirasi joyful learning yang menyenangkan
siswa untuk aktif membaca, berdiskusi untuk pembelajaran. Tata cara/code of
conduct dipandu oleh guru instruktur dimasing-masing bidang percontohan dengan memberikan informasi
terkait konten-konten yang berpotensi mertusak generasi pelajar.
2. Gerakan literasi
media ke masyarakat roadshow ke institusi pendidikan, seperti
kampus, sekolah pesantren, ormas, ulama dan pemuka agama, budayawan serta
berbagai tokoh masyarakat. Konten berbahaya juga tergantung bagaimana informasi
itu tersampaikan, perlu media alternatif untuk memberikan informasi secara adil
dan transparan. Literasi bisa menjadi solusi yang jitu untuk mencegah konten
berbahaya. Guru percontohan memberikan
pelatihan-pelatihan dan informasi yang aktual tentang situs-situs yang
berbahaya dan hati-hatiuntuk tidak mudah percaya terhadap isi kontennya.
Memberikan informasi secara benar dan sejuk dapat menjadi salah satu benteng
dari muncul-munculnya ide-ide radikal akibat salah mengartikan informasi dan
konten berbahaya.
3. Tabayun Literasi,
upaya mengklarifikasi informasi, perlu digalakkan budaya tabayun literasi informasi
dalam rangka memberikan kejelasan dan kesempatan untuk membertikan informasi
yang benar dan akurat. Siswa bertanya kepada guru terkait informasi yang masih
meragukan atau guru jemput bola menyampaikan berberapa fakta yang dapat
menjelaskan tentang ketidakakuratan data yang tersaji dari sebuah konten.
4. Conten Literasi,
upaya mengisi informasi yang baik dengan didasari pemikirian-pemikiran yang
aktual lebih bersifat opini literasi. Di sekolah hal ini sudah ada tinggal para
pengisi konten mampu menyususun program pembelajaran dengan konten yang
menyenangkan. Kanalisasi situs-situs yang bermanfaat untuk siswa perlu tyerus
diterapkan dengan website sekolah, email guru, chatt guru dan siswa, Whatsup,
Line, Instragram, dll. Semua itu dikur dan diguinakan sebagai bentuk media
seimbang ditengah arus informasi yang deras yang membutuhkan kearifan untuk
dapat mencegahnya.
5. Konsolidasi Organisasi Sosial
Pendidikan, perlu ada upaya bersama untuk mencegah penyebaran
konten Hoax dengan mengajak Top Organisasi masyarakat melalui biro organisasi
agar informasi tersampaikan secara benar. PGRI sebagai organisasi sosial pendidikan bisa bergerak secara aktif melalui
konten dan kegiatan di bidang pendidikan. Dengan kemitraan dengan pihak yang berkompeten memberikan pelatihan
pelatihan kepada guru dan pelajar untuk dapat menjadi kader Anti hoax
dengan terus memberikan pusat informasi sesuai bidangnya masing-masing sehingga
diharapkan di sekolah sudah ada kran-kran penyumbat informasi hoax. Satgas-satgas anti hoax dapat menjadi ide brilian untuk
menjawab resistensi informasi hoax.
6. Gelar Aksi Literasi Sekolah , program
penggiatan literasi ini dapat menjadi bagian tidak terpisahkan dalam rangka memebentuk
karakter siswa. Membiasakan menulis sesuatu
dengan benar bukan tulisan bohomng dan tidak benar. Kegiatan sekolah
literasi menjadi ruh proses awal pembelajaran yang benar-benar dapat
meningkatkan peran aktif siswa. Banyak program-program kabupaten literasi yang
perlu ditingkatkan lagi baik program maupun implementasinya, program program
menarik minat membaca dan menulis yang benar dikalangan siswa dapat menjadi
pencegah dari bertita-berita atau tulisan-tulisan yang tgidak dapat
dipertanggungjawabkan sumbernya.
c.
Simpulan
Pemberitan
informasi hoax dapat menjadi ladang munculnya informasi menyesatkan dan menjadi
disintegrasi bangsa. Peran aktif guru dalam membentengi informasi HOAX dengan
selalu aktif melakukan counter education dengan berperan aktif
menyampaikan informasi dengan benar, memberikan tanggapan dan klarifikasi
informasi sebaik-baiknya dengan mengedepankan reinforcement literasi yang
memadai dan bertanggungjawab demi tercapainya tujuan mulia pendidikan dan
mencegah informasi yang menyesatkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Suryadi, (2002). Kerangka konseptual mutu pendidikan dan
pembinaan kemampuan profesional guru. Jakarta: Cardimas Metropole
Tidak ada komentar:
Posting Komentar